Disuatu siang pada hari minggu kemarin, saya
berbincang-bincang dengan seorang warga dusun Pancer, bagian selatan
Banyuwangi. Bertanya-tanya tentang apa yang telah terjadi di dusun ini
belasan tahun yang lalu, sesuatu yang membuat gesture tubuh dan sorot
mata mereka sedikit berubah, barangkali ada semacam trauma yang masih
tersisa pada diri mereka. Dalam perbincangan itu, warga tersebut
bercerita tentang dahsyatnya tsunami pada medio tahun 1994 tersebut,
tentang bagaimana hancurnya dusun elok itu akibat hantaman jutaan kubik
air yang dimuntahkan Samudera Hindia, samudera di bagian selatan pulau
Jawa.
Sebuah tugu peringatan berdiri kokoh di depan
balai dusun Pancer, sebagai prasasti untuk mengingat tentang mereka
yang telah tiada akibat tragedi tersebut. Pada prasasti tersebut,
tertulis 299 orang meninggal pada dini hari ketika tsunami terjadi, saya
sedikit lupa, namun kalau tidak salah terjadi pada awal bulan Juni
tahun 1994. Sejujurnya, saya tak pernah mendengar tentang tsunami ini
sebelumnya, saya baru berumur sekitar1,5 tahun ketika peristiwa itu
terjadi
Dusun Pancer, sebuah dusun yang masuk dalam
wilayah desa Sumberagung, kecamatan Pesanggaran; tempat tinggal bagi
ratusan keluarga nelayan dan petani. Bisa dibilang, dalam aspek ekonomi,
dusun atau bahkan desa ini sangat potensial, sangat bisa berkembang.
Bayangkan ketika anda menjadi seorang kepala desa yang memiliki tambang
emas, kemudian mempunyai beberapa pantai indah yang bahkan bisa
dijadikan tempat penyelenggaraan sebuah lomba surfing tingkat
internasional, bahkan ada teman yang sempat berceloteh bahwa jika diurus
dengan benar dan benar-benar dimaksimalkan, daerah ini punya potensi
untuk bisa jadi seperti pantai-pantai di Brazil, walau saya tak pernah
tahu bagaimana dan seperti apa wajah dari pantai-pantai di Brazil.
******
Hari jumat tanggal 14 Juni kemarin, saya
meninggalkan sebuah gubuk sederhana nan indah di sebuah desa di lereng
pegunungan yang dingin dan jauh dari hingar bingar wisata Kota Batu,
sesuatu yang saya sebut dengan rumah; untuk mengunjungi sebuah desa di
tepian pantai di bagian selatan Banyuwangi, sebuah daerah yang suhu dan
hawanya sangat kontradiktif dengan lingkungan asal saya ini. Sebelumnya,
saya ingin berterima kasih kepada dulur-dulur baru saya di
FORMAH-PK (Forum Mahasiswa Hukum Peduli Keadilan), Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, karena telah membolehkan dan mengizinkan saya
–yang notabene bukan anggota FORMAH-PK- untuk bisa mengikuti kunjungan
dengan tujuan memberikan penyuluhan hokum ini dengan mereka, sebuah
pengalaman yang sangat berharga, walau sebelum berangkat, saya sempat
khawatir akan teralienasi selama 4 hari, yang untungnya tidak pernah
terjadi.
Sabtu pagi tanggal 15 Juni kegiatan ini
dimulai. Di pagi hari dibawah guyuran hujan, saya dan beberapa teman
mengunjungi balai desa Sumberagung, dengan niat untuk belajar tentang
kreatifitas dari ibu-ibu PKK. Saya tidak akan sedang menyoroti bagaimana
cara membuat tas dari lembaran koran bekas ataupun bunga dari plastic
dan semacamnya. Saya akan bercerita tentang semangat mereka, semangat
ibu-ibu yang jatuh cinta dengan pekerjaan barunya, pekerjaan yang walau
sudah mereka lakukan bertahun-tahun namun masih membuat mereka kasmaran
dan bergairah ketika melakukannya.
Ketika pertama menginjak balai desa ini,
terus terang saya sangat kagum dan takjub, baru pertama kali ini saya
melihat ada balai desa yang memiliki ruangan yang dialokasikan dan
digunakan sebagai perpustakaan. Saya bahkan tidak pernah menemui hal
semacam itu di desa-desa di kota saya yang sudah cukup maju, sebuah
kenyataan yang disatu sisi sangat menggetarkan hati. Bagi kalian sesama
para pembaca dan penikmat buku-buku filsafat, sastra, politik,
ketuhanan, atau genre berat sejenisnya, anda tak akan menemukan
buku-buku semacam itu di perpustakaan ini. Di perpustakaan ini, lebih
banyak terdapat buku-buku bagi anak sekolah dasar, dan beberapa bagi
mereka para ibu hamil, disamping buku-buku umum lainnya. Sekali lagi,
sebuah kepedulian yang bertujuan untuk pengganjaan massa agar para
penduduk desa memulai mencintai dan tumbuh hasrat membaca buku, sesuatu
yang patut diteladani dari sebuah desa –yang kata salah seorang ibu PKK
katakan pada saya- tidak mempunyai akses internet, alias tidak ada
warung internet!
Kembali berbicara tentang ibu-ibu PKK,
terlepas dari ‘kekejaman’ mereka yang menyuruh saya membongkar hasil
karya tangan saya, yang menurut mereka sangat amburadul dan tidak akan
bisa dipakai menjadi sebuah tas, tidak ada kata lain yang dapat dipakai
untuk menggambarkan mereka selain kata “mengagumkan”. Anda harus melihat
sendiri bagaimana tangan-tangan terampil mereka dengan mengagumkannya
membuat kerajinan-kerajinan tangan dari bahan-bahan bekas, yang kemudian
mereka jual dan –dari info yang mereka berikan pada saya- digunakan
untuk mengisi kas PKK desa itu. Salah satu conton bahwa sekarang sudah
bukan lagi era membangun desa, melainkan desa lah yang membangun.
Barangkali dalam pikiran anda akan terlontar ucapan, “ah, biasa saja, di
desa saya juga begitu”; memang, bahkan di desa saya ibu-ibu PKK dengan
industry sari apel mereka sudah mempunyai omzet yang lebih tinggi
daripada di desa Sumberagung ini, tapi tunggu, saya tidak yakin desa
anda pernah terkena tsunami atau bencana dahsyat lain.
Kesadaran ibu-ibu tersebut dimulai dengan
dorongan dari istri kepala desa setempat, bagimana ibu kades mendorong
dan mengajak mereka untuk lebih maju setelah bencana tsunami itu. Ini
tentang bagaimana seorang pemimpin harus bersikap, tentang bagaimana
cara pemimpin membuat rakyatnya mencintai mereka, dan memang benar bahwa
ibu kades tersebut sangat dicintai oleh warganya. Bayangkan, di sebuah
desa kecil dengan masa lalu kelamnya, seorang pemimpin kecilnya mampu
mengajak rakyatnya membuat sebuah perubahan yang semakin lama semakin
besar bagi rakyatnya; sedang di bagian Indonesia lain, para pemimpin
sibuk dengan kepentingan mereka, dengan korupsi mereka, dengan
istri-istri muda mereka, dengan jual-beli politik mereka, dengan
akal-akal busuk mereka yang semakin lama semakin lebih tidak masuk akal
daripada sinetron-sinetron di layar kaca. Ada dikotomi pedagogi-demagogi
disini, anda bisa lihat, sangat kontradiktif, ada 2 hal yang saling
bertolak belakang. Belum lagi bila anda membandingkan antara ibu-ibu PKK
ini dengan bapak-bapak PK* di Senayan sana. Nama lembaga boleh mirip,
tapi, ya sudahlah.
********
Sore hari dengan backdrop panggung yang
sangat indah, ombak Pantai Pancer yang bergulung, dengan suara khas
pantai, ditambah dengan senyum ramah para penduduk sekitar, kami
berjalan menyusuri dusun Pancer, bertamu dari satu pintu ke pintu yang
lain untuk melakukan analisis social, mencari tahu masalah-masalah apa
yang mereka hadapi selama ini. Anda tak perlu membayangkan mereka akan
berbicara mengenai RUU yang menyatakan adanya wajib militer, atau
membayangkan mereka berdialektika mengenai isu-isu korupsi diluar sana,
apalagi menyinggung masalah adanya partai yang akan keluar dari koalisi,
mereka sama sekali tak peduli dengan hal-hal semacam itu, bagi mereka
ada masalah-masalah lain yang lebih menghantui mereka daripada isu-isu
kontemporer semacam itu yang barangkali sebentar lagi akan menguap
karena elite-elite politik sedang akan bereuforia dengan nuansa bulan
puasa dan lebaran. “ini waktunya mudik, kawan. Masalah-masalah lain kita
bicarakan bulan depan, setelah kita saling bersalaman dan bermaafan”,
dalam imajinasi saya, barangkali situasinya akan seperti itu nanti,
barangkali…
Kembali ke dusun Pancer, dari belasan rumah
yang saya datangi, dan ratusan jika digabung dengan teman-teman yang
lain, ada beberapa masalah mendasar yang menjadi momok bagi mereka,
masalah yang membuat mereka sangat khawatir –saya pikir mereka tak kalah
khawatir daripada bapak Presiden yang khawatir akan ditinggal rekan
kerjanya-. Dalam tulisan ini, saya akan mengangkat 2 masalah saja,
Yang pertama adalah masalah lingkungan, yang
nantinya akan mempunyai efek domino dan bergeser kepada masalah-masalah
lain. Masalah lingkungan ini tentang bagaimana pantai pancer yang sudah
tidak seproduktif seperti dulu lagi, “ulam e sampun sepi” , kata mereka
dalam bahasa jawa kepada saya, yang artinya adalah ikan disini sudah
sepi, alias sulit untuk mendapat ikan. Sering saya bertanya kepada
beberapa dari mereka mengenai sebab dari hal tersebut, yang paling saya
ingat adalah seorang kakek yang dengan gaya khas seorang filsuf
mengatakan bahwa, Tuhan sudah memberikan mereka ikan untuk mereka panen,
untuk mereka ambil demi kehidupan mereka, tapi ketika manusia sudah
tidak menghargai pemberian tuhan dalam arti berperilaku buruk dan
merusak laut, maka jangan salahkan tuhan bila tak ada ikan lagi, sebuah
teodisi dari desa, sebuah curahan hati dari mantan nelayan yang sudah
memasuki masa pension akibat badan yang sudah tak lagi mampu mencari
ikan. Di ujung timur pulau Jawa, saya bertemu seorang kakek yang sangat
hebat –saya tidak mengatakan beliau lebih baik derajat atau perilakunya-
dan berbeda dari seorang kakek beristri 8 –mohon koreksinya jika saya
salah- yang sedang menjadi selebriti baru ujung barat pulau Jawa.
Setelah mendengar jawaban kakek itu, saya
mencoba mencari jawaban lain mengenai sebab kerusakan lingkungan itu,
sesuatu yang lebih ilmiah dan sesuatu yang memberi jawaban walau harus
mengenyampingkan tuhan, sesuatu yang lebih agama-adalah-candu sesuai
Marx; dan saya akhirnya mendapatkan jawaban itu –lagi-lagi dari mulut
seorang kakek-kakek-. Beliau bilang, bahwa hal ini terjadi karena ikan
sudah dihabiskan dan ditangkap -dengan cara yang saya tak begitu paham-
oleh nelayan di bagian selatan Jawa yang lain, sehingga membuat ikan tak
banyak yang melintasi dan bersua dengan kail nelayan di kawasan Pantai
pancer. Dan jangan salah paham dan berpikir bahwa ekosistem di pantai
ini sudah rusak karena ulah nelayan, mereka tak pernah menggunakan bom
atau alat lain yang bisa menghancurkan lingkungan ikan, setidaknya itu
yang mereka katakan.
Masalah lingkungan lain yang muncul adalah
adanya perusahaan pertambangan emas yang beroperasi di daerah pantai
mereka, dengan omzet yang sangat besar tentunya. Adanya penambangan emas
tersebut -tentu menurut mereka- sangat meresahkan mereka, sangat
merugikan mereka, dalam banyak aspek mulai dari aspek ekonomi, aspek
lingkungan yang semakin rusak karena penambangan itu, dan aspek-aspek
lainnya. Mereka sudah melakukan banyak cara agar mendapat solusi terbaik
mengenai perusahaan tambang –yang kata seorang pemuda yang mengundang
saya minum beer- telah melakukan wan prestasi, atau melenceng dari
kontrak yang telah ada dan disepakati sebelumnya.
Mengenai tambang ini, saya tidak akan terlalu
menyorot tentang bentuk wan prestasi yang terjadi seperti apa, namun
saya akan menyorot dari aspek politik. Kalau sebelumnya saya telah
mengangkat tentang istri dari kepala desa, kali ini saya akan berbicara
mengenai bapak kepala desa itu sendiri, Pak Purwanto namanya, seorang
kades sederhana dan merakyat yang sangat dicintai rakyatnya. Banyak hal
yang membuat pak Purwanto ini begitu loveable bagi mereka, yang
pertama adalah karena dia adalah orang yang paling lantang dalam
menentang perusahaan pertambangan itu, kemudian betapa dia telah banyak
berkorban demi kampung tersebut, betapa dia telah membuat banyak
perubahan dan perbaikan di kampung tersebut. Maka jangan heran jika
ketika dia diadili di Surabaya karena kasus ijazah palsu –yang saya
tidak tahu benar tidaknya, yang menurut warga telah dituduhkan dan
difitnahkan oleh lawan politiknya yang dibekingi perusahaan tambang
tersebut- warga berbondong-bondong dengan menaiki 6 bus dari Banyuwangi
menuju Surabaya untuk membela kepala desa mereka yang tercinta, seorang
pemimpin teladan bagi mereka, yang semangatnya tak pernah patah –dan
mengutip apa yang pernah dikatakan Bapak Soekarno- ibarat rotan, beliau
hanya sedang melengkung, tidak patah. Sangat kontradiktif jika
dibandingkan dengan RI1 yang dihina dan dikritik rakyat sedemikian
rupanya dengan berbagai cara tentunya, sehingga entah karena sudah
frustasi atau apa sehingga mengatakan bahwa dia didzalimi dan
sejenisnya.
Masalah kedua yang mereka hadapi adalah
masalah agraria, masalah pertanahan, tanah dan rumah mereka tentunya.
Sekedar info, ketika tsunami 1994 terjadi, daerah Pancer hancur dan 3
hari setelah kejadian, mantan presiden Soeharto mendatangi Pancer,
kemudian memerintahkan pembuatan rumah bagi warga, rumah-rumah petak
yang merupakan tanah hibah. Kemudian masalah timbul ketika selama 19
tahun ini mereka tak pernah memiliki sertifikat, patok D, ataupun bukti
kepemilikan lainnya, padahal banyak dari yang sudah memperbaiki dan
membuat rumah mereka jauh lebih bagus daripada rumah petak 19 tahun yang
lalu. Dan saat ini mereka sedang mengusahakan kepemilikan sertifikat
tanah tersebut, dengan bantuan dari BPN setempat. Barangkali mereka
takut kasus penggusuran atau semacamnya yang biasa mereka lihat di
televisi juga akan terjadi pada mereka. Mugi-mugi mboten kedaden nggeh, pak, buk.
2 masalah ini adalah 2 masalah utama yang mereka
hadapi, disamping kasus-kasus lain seperti kenakalan remaja, kenakalan
anak, dan lainnya. Berbagai macam masalah yang dengan pantang menyerah
mereka terus berusaha untuk menyelesaikannya. Semangat dan kekompakan
yang patut diteladani, sekali lagi, mereka sangat mengagumkan!
http://sosbud.kompasiana.com/2013/06/18/cerita-dari-dusun-pancer-pesisir-selatan-banyuwangi-19-tahun-pasca-tsunami-bagian-kesatu-570149.html
Makasih gan ceritanya. Katanya juga tsunami di Banyuwangi itu juga berbeda dari tsunami-tsunami lainnya ya?. Katanya sih, airnya masuk pelan ke darat, lalu saat kembali ke lautnya itu menarik semua rumah2.
BalasHapusKunbal dan komen juga di web ane.
http://duniasitusweb.blogspot.com/
http://www.honbookstore.com/
http://hokyshops.blogspot.com